"Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk. Dewan Pers yang independen" (Pasal 15 (1) UU No.40/1999 Tenitang Pers)
BERITA
07 Agustus 17:10:04
Tidak Perlu Takut dengan Wartawan Gadungan

Profesi wartawan mensyaratkan adanya kerja jurnalistik yang teratur dilakukan. Seseorang yang mengaku wartawan namun tidak melakukan kegiatan jurnalistik secara teratur bisa digolongkan ”wartawan gadungan”. Publik jangan takut dan tidak perlu melayaninya.

Pelanggaran etika pers tidak hanya dilakukan media kecil namun juga media besar. Hanya saja pelanggaran yang dilakukan media besar biasanya bukan karena niat sengaja atau beritikad buruk. Lebih sering disebabkan lemahnya verifikasi data. Sedangkan pada media kecil, penyebab pelanggaran etika umumnya sangat kompleks, bahkan ada yang bermodus pemerasan kepada narasumber.

Wartawan pemula berpotensi melanggar etika pers jika tidak dibekali pengetahuan tentang etika yang cukup. Karena itu, peningkatan pengetahuan mengenai etika pers harus dipenuhi wartawan untuk mencapai profesionalisme.

Demikian beberapa pemikiran yang berkembang dalam Lokakarya ”Etika dan Perlindungan Pers”, yang digelar Dewan Pers bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES) di Batam, 19 Juli lalu. Dalam kegiatan ini tampil sebagai pembicara Wikrama Iryans Abidin (Anggota Dewan Pers), Febby Mahendra Putra (Pemimpin Redaksi Harian Tribun Batam), Lisya Anggraini (Wakil Ketua KPID Kepulauan Riau) dan difasilitasi Lukas Luwarso (Sekretaris Eksekutif Dewan Pers).

Wikrama mengungkapkan profesi wartawan sekarang ini mudah dimasuki residu (limbah) dari problematik multikrisis bangsa. Apalagi ada anggapan menjadi wartawan cukup dengan kartu pers. Padahal kartu pers bukan satu-satunya petunjuk seseorang disebut wartawan.

Ia menambahkan, seseorang yang dikatakan wartawan, menurut UU Pers, adalah orang yang melakukan kegiatan jurnalistik secara teratur. ”Yang disebut wartawan adalah karena karya jurnalistiknya. You are what your write,” tegasnya.

Sementara pembicara lainnya, Febby Mahendra Putra, mengakui ada wartawan yang melihat kode etik jurnalistik dengan sebelah mata. Mereka menganggap, dengan bekerja berdasar kode etik, berita yang dihasilkan tidak seru atau heboh. Kecepatan berita juga terganggu. “Karena itu perlu pemahaman kode etik yang lebih baik bagi wartawan,” katanya.

Ia juga menyinggung pentingnya peran proaktif masyarakat memantau pemberitaan pers. Sikap proaktif tersebut bisa dilakukan ketika terjadi pelanggaran etika maupun ketika ada dugaan pelanggaran.

Empati
Pemberitaan yang mengeksploitasi perempuan menjadi perhatian pembicara Lisya Anggraini dari KPID Kepri. Menurutnya saat ini masih ada media di daerah yang mengeksploitir perempuan demi kemenarikan berita. Empati media terhadap anak korban kekerasan juga rendah.

Mengenai pelanggaran etika pers, ia menilai, antara lain disebabkan kurangnya peningkatan pengetahuan soal etika kepada wartawan. Sehingga wartawan hanya memiliki pengetahuan terbatas ketika meliput di lapangan. “Jika wartawan tidak mau meng-up-grade persoalan etika pers, dia bisa melanggar kode etik,” ujarnya.


Redaksi